Kota sumedang berdasarkan latar belakang sejarah kerajaan yang berjaya pada masanya, ditandai dengan adanya beberapa situs yang menandai keberadaan Kerajaan tersebut.
Disebutkan bahwa Gunung/ Pasir Reungit terletak di dalam satuan lahan yang secara tegas disebut situs dengan posisi mengelilingi dengan pusat lahan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan. Kedekatan antarsitus-situs tersebut tidak hanya ditunjukkan dalam keruangan (space) juga bentuk (form) dan waktu (time). Dalam skala ruang ditunjukkan oleh jarak yang tidak lebih dari 2 km (jarak yang cukup dekat) dan terletak pada delapan arah mata angin, dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan berada di tengah-tengah situs-situs tersebut; skala bentuk ditunjukkan oleh pemanfaatan batu-batu alam dengan bentuk yang sangat alami dengan mengimposisi kepada lingkungan alam
1. Situs Sanghyang Kolak di Gunung Palasari, ( + 1349.27 rn)
2.Situs Batu Lingga Cikondang di Kampung Cikondang , Desa Pasanggrahan Baru (+ 524 m)
3.Situs Batu Kursi di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana (+ 1641.61 m)
4.Situs Geger Hanjuang (Pati-lasan Kraton dan Makam Sunan Guling) Kampung Ciguling, Desa Margalaksana (+ 1651.27 m)
5.Situs Cadas Gantung di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana (+ 1404.61 m)
6.Situs Patilasan Ibu Kota Sumedanglarang di Kampung Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan (+ 1358.78 rn)
7.Situs Makam Prabu Pagulingan Raja Sumedanglarang ke-4 di Kampung Nangtung, Desa Ciherang (+ 1291.07 rn)
8.Situs Makam Bagus Suren di Kampung Jamban, Desa Girimukti (+ 594-25 m).
Di Situs bekas ibu kota Sumedanglarang di Ciguling terdapat batuan basaltis dengan kedudukan terguling/rebah, bertumpuk sejajar dan searah, pada dasarnya merupakan kolom-kolom dari lava basaltis. Yang perlu dipelajari secara rinci adalah, apakah penumpukan tersebut merupakan hasil karya leluhur Kabuyutan atau secara alami.
Situs Baru Nantung karena menghasilkan pola kekar kolomnya tidak berdiri/tegak seperti tonggak, melainkan terguling/rebah. Demikian pula penamaan situs oleh masyarakat Sunda Sumedang di masa lampau (kabuyutan) sebagai Batu Nantung (Batu Tonggak/Berdiri) sangat sesuai dengan keadaan alam, batuan di situs tersebut berdiri tegak atau Batu Tonggak memang terbentuk secara alamiah sebagai hasil pembekuan lava basaltis di permukaan, hasil kegiatan volkanisme pada Kala Plestosen (sampai sekitar 1,5 juta tahun yang lalu).
Batuan lava basaltis yang membentuk kekar kolom inilah kiranya dimanfaatkan oleh kabuyutan yang kini dimaknai sebagai situs budaya masa lampau seperti di Situs Batu Menhir di Cikondang, Situs Ciguling, Situs Petilasan Kraton dan Situs Bagus Suren di Desa Girimukti. Situs-situs tersebut semuanya terletak di suatu daerah bukit atau perbukitan yang diketahui jelas adanya suatu tubuh kekar kolom dari batuan basaltis digunakan kabuyutan untuk kepentingan tertentu berhubungan sesuai nilai kehidupan di kala itu.
Dikemukakan oleh Dr. Undang Ahmad Darsa (filolog Universitas Padjadjaran) bahwa secara horizontal tatanan Gunung/Pasir Reungit dan situs-situs yang men-gelilinginya pada arah delapan mata angin merupakan pancer sebagai tonggak dangiang layaknya sarang lebah di dunia nyata jagat leutik/buana leutik.
Konsep tata ruang (kosmologis) masyarakat Sunda yang bersifat tri-umvirate tiga serangkai, tritunggal.Tegaslah! Gunung/Pasir Reungit-Batunangtung Pasanggrahan adalah situs katagori locality site di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya dalam lintas Sejarah kebudayaan Sumedanglarang.
Tidak perlu dipertanyakan dan diragukan mengapa pada lahan Gunung/Pasir Reungit tidak ditemukan artefak (hasil buatan manusia) kecuali benda-benda yang merupakan sumber daya alam. Artefak-artefak (situs-situs) ditemukan justru berada dan terletak disekeliling Gunung/Pasir Reungit. Karena Gunung/Pasir Reungit merupakan lahan dalam kosmologi Sunda merupakan gerbang ke alam Kahiyangan sebelum menuju ke Gunung Tampomas.
Nyata bahwa warisan karuhun orang Sunda disebut ‘kabuyutan’ Gunung/Pasir Reungit ada hubungannya dengan salah satu naskah Sunda berjudul Puru Sangkara yang secara faktual mengungkap keadaan sosial pendukung budaya tatkala kabuyutan masih berfungsi. Ditunjang tradisi lisan berupa folklore yang berkembang di masyarakat sekitar daerah Gunung/Pasir Reungit berada. -Cadas Nangtung Pasanggrahan. Membuktikan bahwa naskah bukan isapan jempol belaka, tidak dianggap dan tidak dihargai, apalagi diremehkan keberadaannya. Nyata pula bahwa data tekstual sarat dengan khasanah pengetahuan bagi mereka yang hendak ‘wanoh” (mengenal) sedalam-dalamnya dan sesungguh-sungguhnya falsafah kehidupan Urang Sunda yang sejati. Dengan aspek arkeologis, kosmologis, antropologis dan lain-lain telah ditunjukkan dengan sangat logis dan wajar “kehebatan para Buyut” mampu memilih lokasi. Kehidupan yang menyatu dengan alam, membuat mereka sangat memahami aspek lingkungan dan dapat memilih daerah yang “ramah lingkungan” untuk seluruh kehidupannya, termasuk aspek ritualitasnya.
Artikel dari : pakar arkeologi bernama Prof. Dr. Moen-dardjito di dalam salah satu artikelnya berjudul "Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi" http://bataviase.co.id/detailberita-10478915.html